
SIAK, Siletperistiwa.com – Pengamat politik dari Universitas Lancang Kuning (Unilak) Riau, Alexsander Yandra, S.IP, M.Si menyoroti tindakan Bupati Siak Alfedri dan Wakil Bupati Siak Husni Merza (petahana) yang terkesan memaksakan berbagai kegiatan pemerintahan yang bersifat mengumpulkan masyarakat jelang Pilkada serentak 2024 ini.
Ditambah lagi istri Alfedri, Rasidah yang sejatinya ASN di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Siak justru terlihat lebih banyak berkegiatan di luar dinas demi mengumpulkan masyarakat. Dalam setiap pertemuan, baik Alfedri, Husni maupun Rasidah selalu menggerakan masyarakat dengan mengacungkan jari bergestur letter “L” sebagai simbol Lanjutkan. Bahkan mendesak setiap kegiatan kecamatan dan desa untuk memasang baliho bergambar Alfedri dan Husni.
Menilik fenomena itu, Alexsander Yandra menyebut prilaku pasangan petahana di Siak cendrung kepada penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya (Abuse of Power).
Alexsander mengemukakan bahwa praktik yang dilakukan oleh incumbent adalah sebagai bentuk pencitraan berkelanjutan yang sangat strategis menjelang Pilkada. Secara umum, tindakan seperti ini dilakukan untuk menguatkan hubungan dengan konstituen dan memperlihatkan kehadiran fisik yang nyata di tengah masyarakat. Namun, jika dilakukan berlebihan, hal ini bisa menjadi bentuk penggunaan jabatan untuk mendapatkan keuntungan politik secara tidak langsung.
“Tentu saya mengkritik bahwa ini adalah bentuk “campagne terselubung”. Ini bisa memperlemah integritas proses demokrasi di daerah,” ujarnya, Rabu (18/9/2024).
Selain itu, sambung Alexsander, sebelum masuk masa cuti, bisa saja mempercepat pencapaian program untuk memberikan dampak ke public yang cendrung dipaksakan, bisa saja tidak efektif atau berdampak ke public dan hanya bersifat sementara.
Lebih lanjut, Alexsander menilai praktek yang dilakukan petahana merupakan cawe-cawe politik. Cawe-cawe politik merujuk pada campur tangan politisi dalam urusan yang seharusnya netral atau bebas dari kepentingan politik pribadi. Dalam konteks ini, ketika seorang kepala daerah seperti Alfedri menggunakan kegiatan resmi dan fasilitas pemerintahan untuk membangun citra politik atau menggalang dukungan.
“Jika ia menggunakan sumber daya pemerintah atau ASN (istrinya misalnya) untuk tujuan politik, hal ini bisa dilihat sebagai penyalahgunaan kekuasaan. Dalam beberapa kasus, praktik semacam ini dianggap tidak etis dan bertentangan dengan prinsip pemisahan antara kepentingan pribadi dan publik. Mestinya pejabat public ketika merasa mendapatkan dukungan yang kuat tentu akan menjauhi praktik yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri.
Dengan begitu, petahana dinilai melanggar aturan dan undang-undang di antaranya UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mengatur bahwa petahana tidak boleh menggunakan fasilitas negara atau jabatan untuk kampanye.
UU ASN No. 5 Tahun 2014, yang mengatur agar ASN bersikap netral dalam politik, sehingga keterlibatan istri bupati sebagai ASN dalam aktivitas politik bisa dianggap melanggar prinsip netralitas ASN.
Kemudian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang melarang keterlibatan aparatur negara dan kepala daerah dalam tindakan yang mendukung kampanye di luar masa kampanye resmi.
Menurut Alexander, seharusnya petahana menjaga etika politik dan nilai-nilai demokrasi sehingga masyarakat teredukasi dalam politik.
Petahana lebih baik menghindari penggunaan fasilitas negara untuk kampanye pribadi, membatasi kegiatan politik pribadi di luar jam kerja atau dalam kapasitas non-resmi, tidak melibatkan aparatur sipil negara (ASN) atau perangkat daerah dalam kegiatan yang mengandung unsur politik, memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan yang dilakukan, sehingga tidak ada persepsi negatif dari masyarakat atau lawan politik.
“Etika demokrasi mengharuskan semua pemimpin, terutama yang berkuasa, menjaga keadilan dan integritas proses politik, serta tidak memanfaatkan posisi mereka untuk menciptakan ketidakseimbangan di lapangan,” ulasnya.
Dengan kondisi ini, Alexsander meminta KPU dan Bawaslu Siak sebagai penyelenggara bisa melakukan pendidikan politik ke publik dan mengajak masyarakat agar dapat mengawasi proses politik secara langsung dan melaporkan jika ada indikasi pelanggaran.
Leave a Reply